SJNews.com,-Institusi ATR/BPN belakangan ini marak disorot terkait mafia tanah. Sebuah kementrian yang dibentuk khusus untuk menangani legalitas kepemilikan hak atas tanah justru disinyalir menjadi bagian dari praktik mafia tanah secara tidak langsung. Penerbitan ratusan sertifikat ganda dan munculnya hak kepemilikan tanpa dasar, salah satu sinyalemen buruknya manajemen pencatatan di Kementerian ATR/BPN.
Oknum mafia tanah bisa muncul dari mana saja, baik dari para developer nakal sampai notaris hitam yang berbisnis dengan para pemodal. Ditambah lagi oknum perangkat desa yang paling depan berhubungan dengan pendataan obyek tanah di lokasi. Data dan fakta di lapangan seringkali sampai di meja kantor BPN sudah sesuai prosedur lazimnya pengajuan serifikat. Beberapa kasus manipulasi data dan fakta yang sampai di BPN menjadi modus para mafia tanah untuk mendapatkan legalitas barang jarahannya.
BPN selama ini cenderung melayani siapa yang datang membawa uang untuk diajukan menjadi sertifikat. Bahkan tidak menutup kemungkinan bisa menerbitkan sertifikat dengan data manipulasi. Bahwa urusan kepemilikan tanah terkait erat dengan hak asasi individu. Penyerobotan hak tanah yang dilegalkan termasuk kategori pelanggaran hak asasi manusia juga.
Sudah menjadi rahasia umum, saat BPN mengeluarkan legalitas akta, data yang sudah termanipulir menjadi sah pada saat itu. Manipulasi histori kepemilikan awal lahan dibuat tumpang tindih di tangan mafia tanah. Jika kemudian hari terjadi masalah kepemilikan ganda, BPN akan cenderung melegalkan pihak mana yang punya kemampuan menyelesaikan perselisihan di jalur hukum. Kecil kemungkinan masyarakat tidak mampu saat menuntut hak tanahnya yang diserobot mafia tanah akan menang dalam pengakuan legalitas di BPN.
Sengketa tanah dalam pengadilan perdata dikenal sebagai proses yang paling melelahkan dan menyita banyak biaya. Dari satu keputusan pengadilan negeri menjadi keputusan berkekuatan hukum tetap di tingkat MA hanya bisa dilakukan oleh para pemodal kuat. Masyarakat biasa seringkali kalah / menyerah saat berhadapan dengan panjangnya tahapan peradilan yang harus ditempuh.
BPN selama ini justru bersembunyi dibalik praktik mafia tanah dan mafia peradilan yang menjadi satu paket. BPN yang selalu berkesan bersih saat persoalan sengketa justru berawal di meja dan data BPN.
Sebagai institusi yang berkecimpung di bidang pencatatan, akurasi data fakta menjadi kunci sengkarut tidaknya sebuah lembaga. Semakin banyak persoalan yang terjadi membuktikan kacaunya manajemen pencatatan. Reformasi Pertanahan dan Agraria yang dicanangkan Presiden Jokowi baru sebatas slogan ketika BPN sendiri enggan mereformasi prespektif keberpihakannya.
Jika reformasi agraria benar-benar dilakukan, logikanya persoalan sengketa lahan akan menurun kuantitasnya. Dalam periode kepemimpinan Jokowi yang terjadi justru sebaliknya. Bagi bagi jutaan sertifikat untuk rakyat akan menjadi bom waktu ketika BPN masih bermasalah dengan data. Rakyat yang mendapat sertifikat baru belum sebanding dengan mereka yang kehilangan hak kepemilikan sebelumnya. Berapa banyak rakyat yang gigit jari kehilangan hak waris atas tanahnya karena ulah para mafia. Hilangnya hak warisan tanah akan berlaku pada semua keturunannya. Menjadi nostalgia pahit saat seorang kakek bercerita kepada cucunya bahwa dulu pernah punya sebidang tanah di suatu tempat. Namun hilang diambil pihak pengembang saat dirinya kalah beradu pengakuan di atas selembar sertifikat.
Ini menjadi persoalan serius di tubuh internal BPN yang saat ini berada di bawah kepemimpinan Menteri Sofyan Djalil. Salah seorang menteri senior lintas Presiden dari era SBY 2 periode hingga Jokowi sampai hari ini. RUU Omnibus Law menjadi salah satu ide spektakulernya dalam mereformasi undang-undang lintas sektoral. Namun anomali justru terjadi di Kementrian yang dipimpinnya selama lebih dari 5 tahun.
BPN disorot banyak pihak atas makin maraknya kasus sertifikat ganda, sengketa lahan kepemilikan, konspirasi putusan pengadilan pada hak kepemilikan dan yang paling menyedihkan munculnya sertifikat aspal. Dari daftar dugaan di atas, justru ada fakta paling nyata di depan mata :
Sengketa lahan tanah antara warga Jatikarya Bekasi dengan salah satu Kementerian dari tahun 1992 seluas 48 hektar yang sah secara hukum telah dimenangkan oleh warga hingga putusan PK II MA. Namun hingga detik ini, BPN tidak menghormati putusan MK dengan bersikeras tidak mengakui hak kepemilikan warga.
Jadi siapa mafia tanah yang sesungguhnya??