SJNews.com,-Sebagai Institusi pengelolah administrasi pertanahan di Indonesia, Kementerian ATR/BPN adalah lembaga yang diberi mandat untuk melaksanakan Kegiatan Pengadaan Tanah.
Berdasarkan UU No 2 tahun 2012 dan aturan turunannya PP No 19 tahun 2021 dan Peraturan Menteri (Permen ATR/BPR) No 19 tahun 2021, semua orang wajib mematuhi aturan Pengadaan Tanah, tanpa terkecuali. Apalagi BPN sebagai lead sector haruslah paling depan dalam mematuhi perundangan, tanpa reserve!
Kegiatan pengadaan tanah tanpa mematuhi peraturan tersebut berpotensi melanggar HAM, sebagaimana dijamin oleh pasal 28 UUD 45, tulis Pras Pemerhati Kebijakan Publik ini kepada redaksi, Jumat (14/01/2022).
Dalam prakteknya, sering ditemukan objek pengadaan tanah sedang dipersengketakan, atau oleh sebab lain adanya keberatan dari para pihak, sehingga uang ganti rugi terpaksa dititipkan di Pengadilan (konsinyasi), sampai didapat putusan berkekuatan hukum tetap (BHT) untuk memastikan siapa yang berhak atas ganti rugi.
Bila sudah BHT, BPN wajib menerbitkan surat pengantar kepada yang berhak agar dapat menerima uang konsinyasi dari Pengadilan. Namun persoalan surat pengantar seringkali menjadi alasan terhambatnya pembayaran ganti rugi.
Contoh nyata, kegiatan pengadaan tanah proyek Strategis Nasional Jalan Tol Cibitung Cimanggis ruas Jatikarya, hingga kini masih menyisakan persoalan. Uang ganti ruginya tidak kunjung diserahkan kepada warga masyarakat yang berhak, padahal sudah BHT berdasarkan PK II MA NO. 815 PK/PDT/2018, sejak Desember 2019.
Entah alasan apa BPN belum juga menerbitkan surat pengantar. Padahal sudah berulang kali dimohonkan baik melalui kantor BPN setempat, maupun kepada Menteri ATR/BPN. Padahal berdasarkan UU CK bila permohonan tidak dijawab atau direspon selama 5 hari, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Tentu sikap diam BPN tersebut menjadi kontraproduktif dan bukan contoh pelayanan publik yang baik.
Alhasil, kegiatan pengadaan tanah tol Jatikarya tersebut sudah dikategorikan merampas tanah secara sewenang-wenang yang melanggar HAM, menimbulkan kegaduhan dan gejolak sosial bagi warga terdampak.
Yang patut dipertanyakan kenapa BPN diam, tidak menghormati putusan PK II MA yang sudah inkrah BHT? Sehingga muncul tudingan : “Jangan jangan BPN adalah bagian dari MAFIA tanah itu sendiri?”
Ada informasi yang berkembang di internal BPN perlu membatalkan sertifikat dan menetapkan hak terlebih dulu kepada pemilik sah hasil putusan PK II MA, sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri ATR/BPN No.21 tahun 2020, baru kemudian menerbitkan surat pengantar. Apalagi kalau sertifikat tersebut di afirmasi sebagai aset Barang Milik Negara, yang proses penetapan haknya harus menunggu penghapusan aset pada instansi terkait. BPN akan jauh menyimpang dari aturan UU Pengadaan Tanah.
Jika benar demikian, ada kekeliruan mendasar dalam menerapkan aturan hukum kegiatan pengadaan tanah tersebut. Menggunakan dasar hukum Permen ATR/BPN No 21 tahun 2020 adalah menyimpang dari UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah beserta aturan turunannya.
Permen No 21 tahun 2020 bersifat inferior terhadap UU No 2 tahun 2012. Bagaimana mungkin suatu aturan Permen dipakai untuk melawan Undang Undang di atasnya?
Konsep Permen 21 adalah membatalkan hak pihak yang kalah dan memberikan hak kepada pihak pemenang. Sedangkan berdasarkan UU No 2 Pengadaan tanah, ketika ditetapkan konsinyasi maka otomatis terjadi pemutusan hubungan hukum, terhapusnya hak tanah dan dikuasai langsung oleh Negara. Tidak ada hak yang perlu dibatalkan (karena sudah hapus), dan tidak ada hak tanah yang dapat diberikan kepada pemenang (karena sudah diambil Negara). Hak pemenang perkara adalah berupa uang pengganti yang sudah dititipkan.
Sebagai catatan PK II MA mencakup putusan total keseluruhan luas tanah 48 Hektar, dimana ada 4,2 hektar di dalamnya ada 4,2 hektar yang terkena proyek tol dan uangnya sudah dikonsinyasikan di PN Bekasi. Dengan pemahaman tersebut, maka BPN hanya dapat membatalkan SHP 1 Jatikarya atas sisa tanah 44 ha yang tidak terkena jalan Tol.
Untuk tanah Tol 4.2 hektar berlaku sepenuhnya UU No 2 tahun 2012, sehingga tidak diperlukan proses pembatalan sertifikat. Atas tanah tol wajib diterbitkan surat pengantar kepada warga masyarakat yang berhak (Candu bin Gondo, dkk).
Lantas BPN harus bagaimana?
Karena kegiatan pengadaan tanah tol jatikarya ini:
@putusan sudah BHT
@sudah berlarut larut,
@sudah terjadi pelanggaran HAM,
@sudah terjadi kegaduhan dan gejolak ditengah warga terdampak,
@sudah maladministrasi sejak penetapan konsinyasi,
@sudah ditegur secara patut oleh Pengadilan ( 2 kali BPN tidak hadir),
@dianggap tidak menghormati hukum,
@keliru dalam menerapkan aturan perundangan
@belum juga menerbitkan sertifikat jalan tol untuk kepentingan Negara c.q PUPR.
@belum juga mohon pengangkatan sita jaminan kepada Pengadilan
@belum juga menerbitkan surat pengantar
Apakah diperlukan campur tangan presiden Jokowi? Tentu tidak!
Sudah tersedia payung hukum PERPRES 3 Tahun 2016, tentang DISKRESI
Semua pihak, terutama BPN seharusnya tidak membebani Presiden Jokowi lagi, payung hukum Perpres sudah lebih dari cukup
Mohon pak Presiden mengawasi kinerja menteri ATR/BPN dan jajarannya.
Semoga Menteri Sofyan Djalil berjiwa besar, segera mengakhiri horor kegiatan pengadaan tanah yang melanggar HAM ini dengan segera memerintahkan satuan kerja dengan menerbitkan surat pengantar, pintanya.
BPN harus bergegas melaksanakan jika tidak ingin dituding sebagai MAFIA atau Pelanggar HAM, heran sumber.(red-)