JAKARTA, SJNews.com,-Rasanya miris bila ditelaah dan di analisis soal minyak goreng langka dan mahal untuk rakyat kecil.
Mungkin pejabat sudah banyak uang, tidak memikirkan bahwa perputaran uang negara itu dari masyarakat bawah yang setiap harinya beraktivitas dan bekerja seperti kuda.
Kalau rakyat sudah letih dan jenuh, tidak mau bekerja lagi oleh karena hanya minyak goreng langka dan mahal, tentu imbas nya ke mana – mana, apalagi kalau sampai ditunggangi oleh kepentingan politik Pemilu 2024.
Siapa yang dirugikan dan di untungkan dalam persoalan minyak goreng, tentu saja rakyat kecil dan yang di untungkan adalah pihak kapitalis ( Pemodal ).
Soal minyak goreng mahal, Rosyid Arsyad mengritik, bukan harus beralih tidak menggunakan minyak goreng namun, sepatutnya mengganti Menteri Perdagangan dan Menko Perekonomian yang tidak becus mengurusi rakyat.
Kebijakan Kementerian Perdagangan dalam mengatur stabilitas harga dan ketersediaan minyak goreng saat ini belum membuahkan hasil yang terbaik untuk masyarakat.
Abdul Rosyid Arsyad Ketua Umum Komite Pedagang Pasar (KPP) mengkritisi, setelah pemerintah mencabut Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng sehingga harganya menjadi tinggi, kini pemerintah justru mempertaruhkan kesehatan masyarakat. Disatu sisi pemerintah berkeinginan untuk memukul harga murah meski harga minyak mentah dunia sedang tinggi, melalui kebijakan penetapan HET (harga eceran tertinggi) serta pengaturan DMO (Domestic Price Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation) 20% untuk ketersediaan minyak goreng.
Namun kebijakan tersebut dianggap melawan pasar, hasilnya minyak goreng mengalami kelangkaan. Berbagai tuduhan atas minyak goreng pun muncul, mulai dari adanya sinyal kartel mafia minyak goreng, hingga penimbunan minyak goreng. Terlepas dari semua isu tuduhan tersebut, pada intinya masyarakat bawah atau konsumen akhir lah yang sulit mendapatkan barang tersebut. Hal tersebut membuat para pedagang khususnya yang menjadikan minyak goreng sebagai modal utama menjadi beban baru.
“Pedagang pada bingung, harga murah langka harga tinggi ada barangnya, jadi modalnya terkuras untuk belanja minyak goreng, mendag dan menko perekonomian harus bertanggung jawab untuk mengendalikan harga yang tidak membebani pedagang dan masyarakat”. Tegas Rosyid
Pedagang harus menaikan harga barang dagangannya, atau mencari cara untuk menipiskan modal sehingga tidak berpengaruh besar terhadap harga barang yang dijualnya. Berdampak keuntungan pedagang tergerus, karena harus mengeluarkan modal yang lebih untuk minyak goreng. Begitu juga masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan minyak goreng tidak mungkin beralih ke minyak kelapa dan masyarakat mengganti kegiatan menggoreng dengan merebus, mengukus dan membakar.
“Emak emak pada menjerit harga minyak goreng melambung terlalu tinggi, pedagang susah jualnya modal jadi bertambah untuk belanja minyak goreng, tidak mungkin beralih tidak menggunakan minyak goreng, percuma ada pemerintah lewat kementerian perdagangan dan menko perekonomian, jika tidak bisa kendalikan harga minyak goreng menjadi murah dan terjangkau untuk pedagang dan masyarakat, lebih baik pak Jokowi ganti aja menteri perdagangan dan menko perekonomian yang tidak becus kendalikan harga minyak goreng, malah minyak goreng harganya melambung tinggi bisa jadi gejolak ekonomi dan politik Indonesia, yang langsung kenanya ke pak Jokowi”. Kata Rosyid Arsyad.
Ironi sekali bila negara penghasil kelapa sawit ini tidak bisa menutupi kebutuhan rakyat Indonesia, untuk apa ada Menteri, DPR/MPR, Gubernur, Bupati dan Walikota kalau tidak bisa mensejahterakan rakyat, apa esensi dari minyak goreng langka dan mahal dan kenapa harus mencari kambing hitam. ( Bi )