DEPOK, SJNews.com, – Soal isu Depok disebut penyandang kota Intoleran, Sudah tiga tahun berturut-turut Depok masuk kategori kota intoleran di Indonesia versi SETARA Institute. Wali Kota Depok Mohammad Idris merespons survei tersebut.
“Jangan sampai ada satu kasus misalnya kegiatan pembatasan Ahmadiyah, itu jangan dijadikan dalil segala-galanya,” kata Idris kepada wartawan, di Balai Kota Depok, dilansir Senin (10/4/2023), lalu.
Hal itu kata Idris, perlu dilihat dan metode seperti apa lembaga survei yang mempredikati Depok menjadi kota intoleran.
Idris menyampaikan kasus pembatasan kegiatan Ahmadiyah di Depok, misalnya, dinilai semata – mata untuk pengamanan agar tidak ada konflik antarwarga.
“Jadi jangan sampai melihat atau kita lihat dulu nih metodenya seperti apa, di salah satu lembaga survei, misalnya. Itu kan tindakan kita karena sebenarnya untuk pengamanan, pengamanan agar tidak terjadi konflik antarwarga, sebenarnya itu yang sudah kita pahamkan ke hak asasi manusia,” jelasnya.
Idris mengaku tiap tahun meresmikan rumah ibadah gereja. hal itu bisa dibuktikan kepada umat Protestan dan Katolik apakah ada pembatasan yang mereka alami.
“Saya tiap tahun bisa dihitung, misalnya gereja rumah-rumah ibadah itu yang saya tandatangan sebagai peresmiannya, seperti itu. Apakah ini dibilang intoleran, coba tanyakan ke teman-teman Protestan atau Katolik apakah mereka ada pembatasan,” ujarnya.
” bisa dihitung, saya tiap tahun, misalnya gereja rumah-rumah ibadah itu yang saya tandatangan sebagai peresmiannya, seperti itu. Apakah ini intoleran, tanyakan saja ke teman-teman Protestan atau Katolik apakah mereka ada pembatasan,” ujarnya.
Idris menyampaikan selama ini tidak ada tindakan diskriminasi kepada umat nonmuslim di Depok. Dari 2.000 pembimbing rohani, Idris menuturkan 25 persen berasal dari nonmuslim dan pihaknya memberikan insentif serta tidak membeda-bedakan.
“Alhamdulillah selama ini tidak adalah tindakan-tindakan diskriminasi dengan mereka tidak ada. Pembimbing rohani, dari 2.000 itu 25 persen dari nonmuslim kita berikan insentifnya sama kok semuanya tidak beda-beda,” ungkapnya.
Idris menyebut terdapat 93 persen umat Islam di Depok. Menurutnya, hal itu wajar jika pihaknya mengambil lebih banyak 75 persen pembimbing rohani islam. “Kenapa mereka kan banyak misalnya mengusulkan, masalahnya proporsional juga dong, orang Islam di sini 93 persen, jadi wajar jika 75 persen misalnya kita ambil dari umat Islam, selebihnya kita ambil dari agama lain gitu,” ungkapnya.
” Saya tidak menyalahkan survei yang memberi pernyataan bahwa Depok menjadi kota intoleran nomor 2 di Indonesia. Namun, Ia memohon untuk meninjau kembali sisi metode pendekatannya”.
Predikat Depok Kota Intoleran
Kota Depok memperoleh skor toleransi rendah dalam dua tahun berturut-turut. Tercatat, skor toleransi Depok yang rendah ini tercatat pada dua laporan Indeks Kota Toleran (IKT) SETARA Institute.
Tahun lalu, berdasarkan laporan Indeks Kota Toleransi (IKT) tahun 2020 yang dirilis oleh SETARA Institute, Depok termasuk kota dengan indeks toleransi terendah. Kota Depok adalah kota yang menempati posisi ke-86 sebagai kota dengan tingkat peristiwa intoleransi tertinggi. Hal ini berdampak pada skor yang rendah, yakni 2,00.
Skor ini pun didasari pertimbangan bahwa selama periode penilaian, di Kota Depok telah terjadi lima peristiwa intoleransi dan pelanggaran hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan.
Lima peristiwa tersebut adalah pengajuan Rancangan Peraturan Daerah Kota Depok dalam Rangka Penyelenggaraan Kota Depok sebagai Kota Religius, diskriminasi terhadap dua siswi berjilbab yang ingin melakukan praktik kerja lapangan, pelarangan perayaan Valentine’s Day, kesepakatan rapat soal Raperda Kota Religius, dan demonstrasi yang meminta warga Ahmadiyah di Masjid Al-Hidayah menghentikan kegiatan.
Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan mengatakan intoleransi di Depok bisa semakin buruk. Hal ini tampak dari munculnya politik favoritisme dari kaum konservatif, katanya, Senin (15/4/2023).
“Kalau melihat tren, tampaknya intoleransi akan semakin buruk, terutama karena politik favoritisme pada narasi kelompok konservatif,” kata Halili. (by)
