Uncategorized

Ganjar-Mahfud Diminta Klarifikasi Soal Konsep Presiden Petugas Partai = Sabotase Kedaulatan Rakyat

SJNews.com – Rakyat punya hak kedaulatan, pemimpin itu harus mampu mengayomi seluruh keragaman untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.

Presiden harus berdiri di atas seluruh Parpol, suku, agama, dan golongan. Presiden dapat saja divonis melanggar konstitusi, jika sang Presiden menempatkan diri atau dijadikan sebagai petugas partai politik.

Demikian disampaikan eksponen gerakan mahasiswa 1998 Yogyakarta, Haris Rusly Moti, melalui rilisnya, yang dikutip wartawan, di Jakarta Selasa (12/12/2024)

Menurutnya, ketika Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dilantik dan diambil sumpah oleh negara untuk menjalankan seluruh peraturan perundang-undangan negara, maka seluruh ornamen sosial dan politik yang melekat dalam dirinya, baik Parpol, suku dan golongan otomatis tanggal dengan sendirinya.

Di zaman Orde Baru, lanjut Haris, ketika itu Golkar adalah kekuatan politik yang sangat berkuasa. Namun, Presiden tidak pernah ditempatkan sebagai petugas partai. Ketika itu, Presiden dipilih secara tidak langsung oleh MPR-RI sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.

“Kita dikenalkan dengan istilah Presiden sebagai mandataris MPR. Dalam konsepsi pendiri negara MPR adalah lembaga tertinggi negara, lembaga bangsa yang mencerminkan semboyan bhineka tunggal ika, yang beranggotan wakil rakyat (DPR-RI) yang berasal dari Parpol yang dipilih oleh rakyat,” jelas Haris.

“Juga wakil rakyat yang di-utus berdasarkan musyawarah mufakat (tidak dipilih langsung) dari dan oleh berbagai suku, agama dan golongan. Konsep para pendiri bangsa ini jauh lebih mulia jika dibandingkan dengan konsep Presiden sebagai petugas partai, yang mengkerdilkan institusi Kepresidenan,” sambungnya.

Kata Haris, konsep Presiden petugas partai itu konsepnya negara yang menganut sistem satu partai, seperti di negara negara komunis, atau negara fasis.

BACA JUGA :   Pemilik Nama Agus Gratis isi BBM Selama Bulan Agustus 2023

“Teori dasarnya adalah negara sebagai alatnya kelas yang berkuasa. Di negara kapitalis, negara dinilai sebagai alatnya kelas borjuis,” katanya.

Di negara komunis, jelas Haris, supremasi politik diambilalih oleh Partai kelas pekerja, yang menempatkan negara sebagai alatnya kelas pekerja. Dimana, hukum tertinggi adalah hukum yang dibuat oleh Kongres Rakyat yang dibuat partai kelas pekerja.

Bisa dibayangkan dampaknya jika di negara Indonesia, yang tidak menganut konsep satu partai, menganut sistem pemilihan langsung Presiden, tapi menempatkan Presiden sebagai petugasnya partai,” tegasnya.

Menurut Haris, jika Presiden petugas Partai, maka otomatis negara adalah alatnya partai tertentu, seluruh pejabat negara dari Presiden, anggota DPR-RI, Gubernur, hingga Bupati/Wali Kota, adalah petugas partai tertentu.

Padahal, kata Haris, bukankah seluruh Partai Politik mencantum azas negara (Pancasila dan UUD 1945) di dalam di AD/ARTnya? Bukankah seluruh pejabat negara diambil sumpahnya oleh negara untuk menjalankan peraturan dan perundang undangannya negara? Apakah di dalam konstitusi kita mencantumkan azas Presiden sebagai petugas partai?

“Di dalam debat Capres nanti malam, kami berharap Pak Ganjar yang alumni Fakultas Hukum UGM dan Pak Prof Mahfud yang merupakan pakar hukum tata negara yang pernah jadi Ketua Mahkamah Konstitusi perlu menjelaskan ke publik, terkait konsep yang menempatkan Presiden sebagai petugas partai tersebut,, kalau ingin membuat sejarah baru hendaknya janganlah berbenturan dengan konstitusi. demikian Haris. (red-)

baca juga

Citra Indah Yulianty Ketua Panitia HUT Kota Depok ke 25, ” Harmoni Untuk Negeri “

Yeni

Warga Jatikarya Berontak, Duduki Kantah BPN Bekasi, Mereka Menuntut Surat Pengantar Ganti Rugi Lahannya Belum Juga di Bayar

Yeni

Vaksinasi Presisi Polda Metro Jaya bersama Keluarga Besar Putra – Putri Polri dan Polsek Ciledug

Yeni