DAERAH, SJNews.com, – Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Meskipun kita tahu, sang pahlawan tidak pernah sama sekali untuk minta dihargai. Demikian halnya dalam perjuangan pemuda dan mahasiswa menegakkan Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura, pasca Gerakan 30 September 1965. Perjuangan itu diwarnai gugurnya Hasanuddin Haji Madjedi (HM), mahasiswa Fakultas Ekonomi Unlam/ULM, pada 10 Februari 1966. Kemudian Arief Rahman Hakim, mahasiswa UI yang gugur 14 hari sesudahnya, 24 Februari 1966, serta sederet pahlawan Ampera lainnya di berbagai daerah.

Sayangnya, dalam Tap MPRS RI No XXIX/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera, hanya menyebutkan nama Arief Rahman Hakim yang gugur pada 24 Februari 1966 dan lima korban lainnya. Nama Hasanuddin HM tidak dicantumkan dalam ketetapan tersebut, padahal dia kembali ke pelukan Ibu Pertiwi 14 hari sebelum Arief. Untuk itulah beberapa tahun lalu, berbagai kalangan khususnya Komponen Angkatan 1966, mengusulkan Pemerintah RI menetapkan Hasanuddin HM sebagai Pahlawan Ampera.
Lima hari setelah insiden meninggalnya Hasanuddin HM tanggal 10 Februari 1966, Harian Kompas edisi 15 Februari 1966, mengangkat berita tentang “Demonstrasi Mahasiswa Bandjarmasin di depan Konsulat RRT”. Penggambatan berita yang begitu heroik. Sebenarnya apa dasar aspirasi yang diperjuangkan Hasanuddin HM dari “kampus perjuangan”.
Yusriansyah Aziz, Eskponen 66 mengemukakan demonstrasi pemuda dan mahasiswa di Banjarmasin tersebut dalam rangkaian aksi tiga tuntutan rakyat atau Tritura.
Aksi ini digelar sebulan setelah Jakarta pada Januari 1966. Inilah demonstrasi terbesar di Banua yang terjadi pada rezim orde lama, masa Presiden Soekarno. Beberapa tokoh yang menjadi penggerak demonstrasi adalah Mas Abi Karsa (Ketua Periodek KAMI), Gusti Rusdi Effendi, Yusriansyah Aziz, Djok Mentaya, Anang Adenansi, AS Musaffa (Ketua Presidium KAMI), Zainuddin Rais, Djohar Hamid, dan wartawan harian Mimbar Mahasiswa serta HM Husni Thamrin.
Ada sekitar 16 organisasi kemahasiswaan, pelajar dan kemasyarakatan bergabung, terkecuali Gerakan Maha-siswa Nasional Indonesia (GMNI) dan beberapa organisasi lainnya.
Yusriansyah Aziz Eskponen 66 juga mengemukakan secara umum ada 3 tuntutan yang diperjuangkan. Pertama; turunkan harga barang. Kedua; Bubarkan PKI. Ketiga; bersihkan kabinet dari antek-antek komunis.
Secara khusus di Banjarmasin, ada 2 tuntutan tambahan yakni stabilkan harga dan adili para tengkulak (cukong sembako).
Hal ini dilatarbelakangi perekonomian di Banjarmasin saat itu sangat menyedihkan. Dimana-mana orang antri beli beras, gula dan minyak tanah. Harga sembako saat pagi hari sekian, sorenya bisa naik 300 persen. Bahkan tingkat inflasi sangat tinggi mencapai 600 persen. (by)
Penulis : Mansyur – Dosen PSP Sejarah FKIP ULM