JAKARTA, SJNews.com,-Hari Pers Nasional yang jatuh setiap tanggal 9 Februari 2022 memang sepatutnya dirayakan semeriah mungkin oleh insan pers tanah air. Namun pertanyaannya, apakah layak HPN 2022 ini dirayakan dengan kemeriahan dan gemerlap anggaran milyaran rupiah uang rakyat, sementara kondisi pers Indonesia masih berada di titik terendah?
Faktanya, 80 persen lebih wartawan dan perusahaan pers di Indonesia masih jauh di bawah standar kemakmuran alias hidup segan mati tak mau. Prosentase angka itu diperoleh dari data informasi yang disebut Dewan Pers sendiri bahwa ada 40 ribuan media online ‘abal-abal’ yang tersebar di seluruh Indonesia.
Belanja iklan nasional yang setiap tahun mencapai lebih dari 100 triliun rupiah hanya dibiarkan selama bertahun-tahun dikuasai atau dimonopoli segelintir konglomerat media di Jakarta.
Media online Bisnis.com melaporkan data riset dan analitik Nielsen, bahwa belanja iklan nasional tahun 2021 lalu mencapai Rp259 triliun, naik 13 persen jika dibandingkan dengan 2020. Torehan belanja iklan itu dihitung berdasarkan angka gross rate card di sejumlah media, seperti TV, cetak, radio, dan digital. (Belanja Iklan 2021 Capai Rp259 Triliun, Sektor Online Service Mendominasi – Bisnis.com)
Pada media yang sama juga dilaporkan, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memproyeksikan nilai belanja iklan atau advertising axpenditure (Adex) pada tahun 2022 ini dapat menembus Rp400 hingga Rp416 triliun. (Jelang Pemilu, Ekonom Proyeksikan Belanja Iklan Tahun Ini Tebus Rp416 Triliun – Bisnis.com)
Fakta data dan informasi yang diurai di atas adalah bukti bahwa mayoritas masyarakat pers Indonesia tidak merasakan manfaat dari keberadaan Dewan Pers.
Belanja iklan nasional tidak pernah diperjuangkan untuk terdistribusi hingga ke daerah-daerah. Semua hanya dinikmati oleh perusahaan pers raksasa yang ada di Jakarta saja.
Tak heran, Anggota Dewan Pers selama ini hanya diisi oleh elit wartawan dan pengusaha media untuk menjaga bisnis para konglomerat media yang meraup penghasilan dari monopoli belanja iklan tersebut dengan nilai yang sagat fantastis.
Pajak iklan yang selama ini dipungut dari media langsung masuk ke kas negara lewat kantor pajak. Potensi Pendapatan Asli Daerah dari belanja iklan tidak masuk karena Perda Tentang Pajak Reklame tidak berlaku bagi iklan yang dimuat melalui sarana media cetak, TV, Radio, dan digital media.
Dewan Pers Indonesia sudah memulai melaksanakan pembahasan penyusunan Perda tentang Belanja Iklan yang nantinya dipungut oleh Pemerintah Provinsi. Setiap iklan di media cetak, TV, Radio, dan digital media seharusnya dikenakan pajak iklan (sejenis Pajak Reklame) yang belum ada Peraturan Daerahnya. Kegiatan tersebut sudah dimulai dibahas di Medan Sumatera Utara pada tahun 2021.
Dengan konsep Perda Pajak Iklan Media Massa ini maka diharapkan perusahaan nasional yang akan mempromosikan produk barang dan jasa dapat menyisikan belanja iklannya untuk didistribusi ke daerah melalui perusahaan cabang atau kantor perwakilan distributor barang dan jasa di setiap provinsi.
Jika konsep ini berhasil maka media atau perusahaan pers lokal akan kebanjiran iklan promosi dari perwakilan perusahaan-perusahan distributor barang dan jasa di setiap provinsi.
Menggugat Eksistensi Dewan Pers
Carut-marut kebijakan dan sepak terjang Dewan Pers yang kontroversial mengundang protes keras dari dalam maupun luar konstituen Dewan Pers.
Kelompok non konstituen yang dimotori Serikat Pers Republik Indonesia sempat menggugat eksistensi Dewan Pers di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di tingkat PN gugatan ditolak dan Peraturan Dewan Pers dianggap sebagai peraturan perundang-undangan oleh putusan Majelis Hakim.
Putusan Banding di tingkat Pengadilan Tinggi DKI, Majelis Hakim membatalkan putusan PN Jakarta pusat dan menerima permohonan banding pemohon. Namun dalam putusannya tetap menolak gugatan pemohon dengan pertimbangan bahwa Mahkamah Agung yang berwenang membatalkan Peraturan Dewan Pers.
Untuk mengajukan kasasi di MA, syarat membatalkan peraturan perundangan-undangan adalah peraturan tersebut harus sudah masuk dalam lembar negara.
Namun, seluruh Peraturan Dewan Pers ternyata tidak satupun tercatat dalam lembar negara sehingga tidak bisa dibatalkan MA karena bukan merupakan peraturan perundangan dan penerapannya tidak mengikat.
Penulis selaku warga negara yang memiliki hak konstitusi yang dirugikan oleh pasal dalam UU Pers, kemudian mengajukan uji materi UU Pers di Mahkamah Konstitusi bersama Soegiharto Santoso, dan Hans Kawengian sebagai wartawan, pimpinan organisasi pers, dan pimpinan media.
Menariknya, dalam sidang di MK Presiden RI Joko Widodo melalui kuasa hukum Menteri Hukum dan HAM dan Mentri Kominfo mengatakan Dewan Pers hanya sebagai fasilitator bukan regulator yang membuat peraturan di bidang pers.
Dalam keterangan Dewan Pers di persidangan juga mengakui yang berhak membuat peraturan pers adalah organisasi-oganisasi pers. Dewan Pers hanya memfasilitasi keputusan atau konsensus bersama organisasi-organisasi pers itu menjadi peraturan Dewan Pers.
Keterangan pihak terkait yakni pimpinan organisasi pers konstituen Dewan Pers di depan majelis hakim bahwa pihaknya tidak dirugikan hak konstitusinya dengan adanya peraturan Dewan Pers.
Sementara di luar persidangan, salah satu konstituen yakni Serikat Media Siber Indonesia justeru melayangkan protes keras atas kesewenangan Dewan Pers yang tidak melaksanakan keputusan bersama organisasi-oganisasi pers konstituen mengenai peninjauan Statuta Dewan Pers.
SMSI juga menyurat ke Presiden RI agar tidak menetapkan SK Dewan Pers yang sudah diajukan ke Presiden.
Menurut surat yang dilayangkan SMSI dan ditandatangani Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal ke Dewan Pers dan Presiden, Dewan Pers menerapkan standar ganda. Ada organisasi perusahaan pers yang hanya memiliki 7 anggota dan tidak memiliki pengurus di minimal 15 provinsi tapi ditetapkan sebagai konstituen dan justeru memiliki 2 orang keterwakilan di Dewan Pers.
Sementara SMSI yang memiliki ribuan anggota di seluruh Indonesia tapi tidak ada satupun keterwakilan di keanggotaan Dewan Pers dalam kepengurusan baru periode 2022-2025.
Gugatan terhadap eksistensi Dewan Pers ini makin kencang setelah muncul tulisan mengenai dampak dari Peraturan Dewan Pers yang tidak masuk dalam lembar negara dan system pemilihan anggota Dewan Pers yang dinilai cacat hukum.
Kondisi ini tentunya menggambarkan Dewan Pers telah gagal menjalankan amanahnya sebagaimana diatur dalam UU Pers. Dewan Pers justeru menciptakan kekacauan dan merusak tatanan kehidupan pers nasional.
Kewenangan organisasi-organisasi pers menata dan meningkatkan kehidupan pers nasional diambil alih Dewan Pers. Akibatnya, Revolusi Pers di Indonesia tak bisa dihindari.
Era digital informasi yang makin tak terbendung menuntut peran organisasi pers yang dominan untuk mengembalikan marwah kebebasan pers kepada wartawan.
Saatnya kehidupan Pers Indonesia diatur oleh wartawan bukan oleh pengusaha media dan kaum elit. Pemerintah harus buka mata lebar-lebar bahwa Revolusi Pers merupakan jawaban dari kekacauan yang terjadi selama ini.
Kebutuhan Masyarakat
Pers Indonesia sudah dikotori oleh konglomerasi media yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Media mainstream lebih banyak memainkan isu yang cenderung menciptakan perpecahan.
Masyarakat setiap hari dicekok dengan berita kritik pemerintah tanpa solusi. Seolah-olah negeri ini penuh dengan keributan antar politisi dan sengketa pribadi pesohor yang masuk ke ruang publik.
Informasi pencapain pembangunan dan kebijakan strategis pemerintah untuk memudahkan masyarakat mengetahui fasilitas yang diberikan pemerintah tidak laku bagi pemberitaan di media mainstream.
Isu panas di bidang politik dan perdebatan antar tokoh lebih mendominasi layar pemberitaan media. Sedemikian burukah pemerintah Indonesia di mata pers Indonesia sehingga nyaris tidak ada berita bom bastis tentang prestasi atau pelayanan masyarakat yang baik di tengah krisis.
Berita tentang cara keluar dari krisis ekonomi akibat pandemi jarang dimuat media mainstream. Padahal, publik butuh informasi apapun tentang kiat dan cara keluar dari kemiskinan pasca pandemi.
Media lokal yang menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah pun terjebak dan hanya sibuk dengan berita pencitraan kegiatan kepala daerah. Karena hanya itu satu-satunya cara media lokal bertahan menyambung operasional media.
Jika saja belanja iklan bisa ikut dinikmati atau ada pemerataan di seluruh media di Indonesia maka independensi pers pasti akan terjaga. Dan pada gilirannya, pers akan professional dan masyarakat akan terpenuhi kebutuhan informasinya.
Kesimpulannya, tak bisa tidak, revolusi pers wajib dilakukan di Indonesia. Revolusi industry telah berhasil menciptakan peluang dan mengentaskan masalah ekonomi di berbagai negara. Kini saatnya revolusi pers harus disukseskan demi kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Selamat Hari Pers Nasional 2022. (BG)
Penulis :
Heintje Mandagi / Ketua Dewan Pers Indonesia dan Ketua Umum DPP SPRI